Nagari Minangkabau bukan sekadar desa biasa. Kata “nagari” berasal dari bahasa Sanskerta, nagarom, yang berarti tanah air atau tanah kelahiran. Bagi masyarakat Minangkabau, nagari adalah pusat emosional dan sosial. Di sinilah identitas terbentuk, jati diri dikenali, dan nilai-nilai budaya diwariskan dari generasi ke generasi.
Di Sumatera Barat, nagari menjadi tulang punggung kehidupan sosial, budaya, dan politik. Semua aktivitas adat, pengambilan keputusan kolektif, hingga pembentukan komunitas terjadi di struktur nagari. Tempat ini adalah jantung kehidupan masyarakat Minangkabau, di mana tradisi bertemu dengan pemerintahan lokal.
Struktur Adat: Wali Nagari dan Lembaga KAN
Setiap nagari memiliki sistem pemerintahan adat yang kuat dan khas. Wali nagari memimpin sebagai penjaga keseimbangan sosial dan pelaksana adat. Sementara itu, Kerapatan Adat Nagari (KAN) menjadi pilar adat yang berpengaruh. Anggotanya terdiri dari ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, dan bundo kanduang.
KAN memiliki fungsi penting: menyelesaikan konflik adat, menjaga nilai tradisional, dan menjadi peradilan adat untuk sengketa antarwarga. Keberadaannya menunjukkan bahwa nagari bukan hanya simbol budaya, tapi juga lembaga hukum lokal yang diakui.
Tiga Pilar Nagari
Suatu komunitas baru bisa disebut nagari jika memiliki tiga unsur utama:
- Balai Adat – pusat musyawarah dan simbol kebersamaan.
- Masjid – landasan spiritual yang memperkuat hubungan adat dan Islam.
- Lahan Persawahan – penopang ekonomi agraris masyarakat.
Ketiga unsur ini menjadikan nagari lebih dari wilayah administratif; ia adalah pusat kehidupan sosial, ekonomi, dan spiritual Minangkabau.
Jejak Sejarah: Dari Adityawarman hingga Era Modern
Sejarah nagari tercatat sejak era Raja Adityawarman yang menjalin hubungan dengan Kerajaan Champa. Dalam Tambo, wilayah kecil bernama Champ Nong Ree berkembang menjadi Nangoree dan akhirnya dikenal sebagai nagari.
Masa kolonial Belanda mengubah sistem nagari melalui Ordonansi Nagari tahun 1914, membatasi peran penghulu adat, dan mengatur pengangkatan wali nagari. Pada era modern:
- 1974: Jabatan kepala nagari diaktifkan, DPR Nagari dibentuk.
- 1979: UU No. 5/1979 menjadikan nagari sebagai desa administratif.
- 1983: Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menghidupkan kembali KAN (Perda No. 13/1983).
- Pasca reformasi: Otonomi daerah memperkuat posisi nagari sebagai pemerintahan lokal resmi.
KAN: Lembaga Yudikatif dan Musyawarah
KAN bukan sekadar simbol adat. Berdasarkan Perda Sumatera Barat No. 7/2018, struktur nagari meliputi Pemerintah Nagari, KAN, dan Peradilan Adat Nagari. KAN menangani sengketa tanah ulayat lintas nagari dan berbagai perkara adat lainnya, menjadikannya lembaga yudikatif yang efektif di tingkat lokal.
Filosofi Hidup Nagari
Nagari hidup dengan falsafah Minangkabau: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. Artinya, adat bersumber dari Islam, dan Islam berlandaskan Al-Qur’an. Nilai musyawarah mufakat menjadi dasar setiap keputusan. Sistem demokrasi lokal ini sudah ada jauh sebelum demokrasi modern hadir.
Relevansi Nagari di Era Modern
Di tengah modernitas, nagari tetap relevan. Ia menjaga identitas budaya, menghidupkan pemerintahan partisipatif, dan menjadi pusat kehidupan sosial serta ekonomi. Nagari menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, tradisi dan modernitas.
Warisan Hidup yang Abadi
Sejarah panjang nagari — dari kerajaan, kolonialisme, hingga reformasi — menunjukkan bahwa sistem ini lebih dari warisan budaya. Nagari adalah fondasi hidup masyarakat Minangkabau. Dengan segala struktur, filosofi, dan lembaganya, nagari terus dijaga dan diwariskan antar generasi sebagai simbol kearifan lokal yang tak lekang oleh waktu.





