Nagari Mungka, Lima Puluh Kota – Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah menjadi salah satu jalur spiritual penting di Minangkabau, khususnya di Nagari Mungka. Sejak awal abad ke-19, tarekat ini berkembang melalui pengaruh Syekh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi yang membawa ajaran dari Riau.
Sejarah mencatat bahwa masuknya tarekat di Mungka tidak lepas dari pergulatan intelektual Islam di Timur Tengah, khususnya Makkah dan Madinah, yang sejak abad ke-17 hingga awal abad ke-20 menjadi pusat ilmu dan spiritualitas umat Islam dunia.
Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Mungka tidak hanya fokus pada ibadah ritual, tetapi juga membimbing murid melalui metode penyucian jiwa untuk mencapai ma’rifat kepada Allah. Beberapa praktik utama dalam tarekat ini antara lain: bai’at (janji kesetiaan murid kepada mursyid), shalat sunnah, zikir dzahir dan batin, suluk, tawajjuh, rabithah, serta wirid khusus dan umum.
Bai’at merupakan langkah pertama yang wajib dilakukan calon murid sebelum menjalani pendidikan spiritual. Sedangkan shalat sunnah yang ditekankan meliputi shalat Rajab, nisfu Sya’ban, wudhu, taubat, hajat, tasbih, dan dhuha. Aktivitas ini dilakukan baik secara berjamaah maupun individu, bertujuan melengkapi ibadah wajib dan menambah kedekatan dengan Allah.
Zikir menjadi inti ajaran tarekat. Dalam praktiknya, zikir dzahir dilakukan dengan suara dan zikir batin dilakukan di dalam hati. Tujuan zikir adalah ketenangan jiwa dan penguatan akhlak, sehingga pengamal tarekat mampu mengendalikan hawa nafsu, bersikap sabar, dan berperilaku sesuai syariat.
Pandangan masyarakat terhadap tarekat ini saat ini sangat positif. Banyak warga mengakui bahwa pengikut tarekat menjadi lebih sabar, bijak, dan mampu mengendalikan emosi. Sebagian tokoh masyarakat menegaskan, ajaran tarekat mampu membantu menyelesaikan konflik sosial, misalnya dalam pembagian harta warisan di kantor Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Meski demikian, pada awalnya ada penolakan dari sebagian pemuka agama yang menganggap ajaran tarekat mengandung praktik yang berbeda dari syariat Islam, seperti larangan mengonsumsi daging tertentu saat suluk. Untuk memastikan keabsahan, Syekh Abdullah Ahmad pernah mengirim surat ke Makkah pada 1906 M untuk mendapatkan fatwa terkait legalitas tarekat.
Menurut peneliti, perbedaan perilaku individu dalam mengamalkan tarekat—seperti ada yang tidak menutup aurat—bukan kesalahan ajaran tarekat, melainkan persoalan pribadi. Ajaran tarekat menekankan adab, etika, dan kesetiaan kepada mursyid.
Dengan metode deskriptif kualitatif, penelitian menunjukkan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Nagari Mungka telah berkembang menjadi pusat spiritual sekaligus sosial. Keberadaan tarekat ini memberikan dampak positif yang nyata bagi individu dan komunitas, menjadikan masyarakat lebih harmonis, berakhlak baik, dan hidup berdampingan dengan ajaran agama.
